Senin, 30 Oktober 2017

Hujan di akhir oktober

Langit yang biasanya cerah mendadak merubah warnanya menjadi kelabu. Sengat panasnya Kalimantan tergantikan oleh dinginnya angin sang hujan yang entah dari mana datangnya. Semua serba cepat, berbagai pertanda hanya datang sekejapan. Dimana payung ku? ah lupa payung ku ada yang menghilangkan. Yang tertinggal hanya jas hujan. Jas hujan yang biasa kupakai dengan motor kumal ku yang kini dia sedang singgah di rumah orang dulu untuk beberapa lama. Jadi tak ada yang bisa ku siapkan lagi saat hujan. 

Hujan disini sangat aneh, semua lebih menyukai hujan yang deras daripada gerimis. Nyatanya, hujan deras lebih bersahabat untuk jalanan yang masih tanah merah disini. Hujan deras disini juga biasanya tidak betah berlama-lama turun, sehingga dengan derasnya yang cuma sebentar, ia,cukup mampu menyegarkan sekitar dan meruntuhkan congkaknya sang debu. Tak apa orang-orang harus tertahan sebentar dan membiarkannya turun lebih deras, daripada si gerimis yang datang. Mungkin tiap orang masih bisa memaksa beraktivitas, tapi saking lamanya ia turun, orang yang beraktivitas pun akan tetap basah juga. Belum lagi si gerimis ini senang sekali melicinkan si jalan merah. Ya tambah susah lah orang-orang beraktivitas. 

Ketika musim kemarau datang, semua mengeluhkan kejamnya si debu jalanan merah kalimantan. Selain mengganggu perjalanan, juga mengakibatkan berbagai penyakit. Khususnya ISPA. semua berharap segera hujan, tapi seketika hujan datang, terdengar lagi keluhan tentang becek dan licinnya jalanan yang menghambat aktivitas. Ya namanya juga manusia, hidup penuh keluhan. Kalau langsung puas dan pas sama satu hal, bukan manusia namanya hehe.

Masih tentang hujan. Di suatu malam yang saat itu bertepatan dengan malam minggu, aku termenung sendiri di dalam kamar. Anggap saja saat itu aku sedang kedinginan. Karena memang saat itu, si hujan baru saja membasahi bumi sorenya. Aku hanya di temani si netbook mungil, memainkan games, sembari menanti file-file yang ku unduh selesai. Entah kenapa, saat itu mulai turun hujan lokal. Hujan lokal adalah hujan yang hanya turun di salah satu wilayah saja. Saat itu wilayahnya adalah kamar ku, lebih tepatnya, hujan itu jatuh dari pelupuk mataku. Padahal tangan ku masih setia menari di atas mouse pad karena games yang ku mainkan belum tamat. Tapi air mata ini terus juga jatuh. Tak lama hujan sesungguhnya pun turun dengan deras. Aku bersyukur, karena suaranya menutupi suara tangis ku.

Salah satu yang membuat ku benci saat mulai masuknya musim hujan adalah suasananya yang sendu. Sedemikian rupa ia mampu menjelma menjadi banyak rindu. Hari ku yang sebenernya baik-baik saja mendadak akan ikut kelabu. Senyumku hilang tergantikan tangis isak sedu. Jahatnya lagi, ia turun di malam hari. Disaat aku tengah menikmati suasana sendiri. Aku yang membiasakan sepi, akhirnya mati sendiri karena suasana semakin sunyi. 

Mungkin tangis ini adalah jeritan hati kesepian yang tak mampu lagi kusembunyikan. Aku gagal mempertahankan kegengsian hingga ia runtuh bersama air hujan. Hujan di akhir Oktober, hujan di masa peralihan. Mengganti kehangatan kemarau dengan dinginnya hujan yg menusuk, seperti keceriaan yg berganti menjadi sebuah kesenduan. Ini tentang rindu yang ku tinggalkan. Rindu pada indahnya sebuah keadaan yg tak bisa kuungkapkan. Tapi tenang saja, aku yakin mampu bertahan. Aku paham betul bahwa hidup adalah tentang perubahan. Tidak ada yang sama termasuk pun tentang kenangan. Dan tentang malam itu, pun menjadi sebuah kenangan tentang kesenduan bersama hujan.