Jumat, 11 Juli 2014

Sebatas

Cinta, sudah lama gw gak menyapanya...
Gw terlalu sibuk dengan mengejar-ngejar kehidupan yang dikehendaki orang-orang, sampai lupa gw masih punya sebuah rasa penuh asa yang menjelma pada sebuah sosok impian. Mungkin saat ini gw sedang jenuh dengan keegoisan orang-orang itu, sampai terpikir untuk kembali kesini dan menyelami jiwa gw sendiri. Jiwa yang sudah terlupa ketika paksaan orang-orang memaksa masuk ke dalam mindset gw. Jiwa yang penuh keromantisan sendu nan syahdu yang selama ini selalu gw nikmatin alurnya. Maka kali ini nampaknya gw sudah terbawa kembali kesana. Ke dalam sebuah pemikirian tentang keromantisan hidup, tentang cinta, tentang yang terkasih.

Karena dari apa yang sudah membuat gw lupa dengan keromantisan itu, ternyata juga membuat gw selama ini lupa caranya cemburu, dan caranya berharap. Mungkin karena sebelumnya dipikiran gw hanya tekad mengikuti alur kehendak semua orang-orang itu, tak sedikit pun memberi celah untuk memikirkan perasaan gw sendiri. Pantesan hidup terasa kian hambar, karena ternyata sudah tidak ada lagi gejolak rasa antara rindu, sayang, benci, cemburu, penasaran, harapan, dan penantian.

Dan akhirnya rasa itu pecah malam ini. Rasa yang timbul dari kejenuhan dan keheningan, yang akhirnya tersadarkan dengan sendirinya. Meski sang rasa telah sadar kembali, tapi 'ia' telah semakin jauh pergi. Setelah gw amati kembali ke masa lalu, teralu banyak celah yang gw lewati tanpa rasa. Sebuah masa lalu yang gw sikapi dengan cara yang sama, 'biasa aja'. Padahal ada banyak kejadian yang bisa gw isi dengan berbagai gejolak rasa itu. Ada kejadian yang harusnya gw cemburu tapi gw 'biasa aja'. Ada kejadian yang harusnya gw seneng tapi gw 'biasa aja' Bahkan sering banget ada kejadian yang harusnya gw kecewa dan marah, tapi gw 'biasa aja'. 'Biasa aja', seakan tak terlalu mempedulikan sikap-sikapnya yang angkuh, cuek, pembohong, bahkan sikap manisnya, yang akhirnya gw tahu juga penuh kepalsuan. Sikap manis yang hanya membuat gw tenang sesaat namun akhirnya menjadi 'biasa aja' ketika semua cuma palsu.

Sampai pada saat ini gw mulai menangis. Bukan menangis karena sikap tidak baiknya pada gw. Tapi kebodohan gw karena sebuah tekad mengkuti kehendak semua orang, sampai-sampai perasaan gw berubah sedemikian menyerupai robot, maka nggak heran kalau dia menjadi sebegitu acuhnya. Bahkan keinginan memperjuangkan dan pengharapan pun saat itu tidak ada. Banyak moment pait yang seharusnya indah, tapi akhirnya tidak pernah terjadi hanya karena kepaitan yang gw telen mentah-mentah tanpa berjuang dulu membuatnya menjadi gulali yang manis. Mungkin saat itu gw lagi sok tegar, jadi ketika dihantam pil pait tsb, dengan bangganya gw bilang "Gw gapapa", Padahal kenyataannya sekarang "Gw kenapa-napa..." Ya benar. Kemaren itu gw pasti lagi sok tegar, merasa emang gw ga kenapa-napa, padahal saat itu ternyata gw lagi hidup tanpa perasaan. Pantesan nggak sakit. Sekarang baru deh kerasa. Nyesek...

Tapi hidup terus berlanjutkan, meski harus begini kenyataanya, tetap harus dijalani. Dengan begini bukan hanya dirinya saja yang semakin menjauh, tetapi rasa gw ternyata juga semakin menjauh. Kenapa? Ya karena kebodohan gw yang tidak bisa mengembalikan keadaan menjadi manis,rasa yang muncul sekarang lebih banyak ke sisi negatifnya seperti cemburu, dan benci. Ya mungkin kesalahan gw kemaren memang sudah jalan takdir kisah cinta gw sendiri. Rasa ini memang harus dibuat mati untuknya, Karena bagaimanapun kita tetap terus melangkah masing-masing pada jalan yang berbeda. Kekecewaan itu pasti ada, kepasrahan itu mungkin berhentinya harus disini. Kita disatukan dengan pertemuan, dan dipisahkan dengan perpisahan. Bukan mau mendahuli takdir, hanya saja kita harus punya spekulasi untuk bisa survive. Gw dan dia selalu memiliki batas, bahkan terkadang kita berdua menjadi batas, ya mungkin sampai kapan pun kita hanyalah sebatas batas. 

Semoga rasa ini kembali lagi pada keromantisannya, pada kemelowannya, dan pada kesensitifannya terhadap sesuati yang disebut cinta. Berharap ia tumbuh bersama kisahnya yang baru, kisah yang menghidupkannya, bukan lagi pada kisah yang dia harus hidup sendiri. Iya, semoga tidak lama waktunya. Tak peduli pada siapa orangnya, selama rasa sudah bisa dipilih tanpa harus memilih.
 

Jumat, 04 Juli 2014

Patokan

Apa kalian pernah melakukan suatu hal berdasarkan faktor tertentu? faktor temen misalnya?
Nah ini dia. Gw mau bahas tentang patokan sebagai suatu standar.

Agak gimana gitu ketika tanpa sepengetahuan gw, temen-temen jadiin gw sebagai patokan mereka. Padahal walnya mereka cuma bertanya tentang sikap-sikap gw tentang suatu hal tsb. Gw adalah orang yang nyeleneh, yang melakukan hal sesukanya, cuma setiap tindakan gw tersebut pasti dapat gw pertanggungjawabkan, dan tentu dikuatkan dengan alasan-alasan logis dibelakangnya. Seperti kenapa gw lalai, kenapa gw terlalu santai, dan kenapa gw melakukannya semau gw. Tapi ternyata temen-temen gw yang (ternyata) juga setuju dengan alasan-alasan gw tsb menjadikan alasan bagi mereka juga untuk lalai. 

Kadang mereka mengikuti sikap gw tanpa mikir kebutuhan mereka sendiri. Jadi kalau ternyata mereka salah langkah, barulah gw dijadiin bulan-bulanan. Gw pun baru tau ternyata gw dijadiin patokan adalah ketika gw udah dijadiin bulan-bulanan. Alhasil gw harus bertanggung jawab buat nyemangatin mereka, padahal salah gw apa. Nyemangatin diri sendiri aja susah, sekarang harus nyemangatin temen-temen gw atas ulah mereka sendiri...

Seharusnya yang mereka lakukan adalah percaya diri sejak awal, terlebih penting adalah kenali potensi diri dan pahami apa kebutuhan utamanya. Sehingga mereka tidak perlu mencari kambing hitam untuk dijadikan patokan. Sehingga kalau salah langkah pun itu adalah keputusan mereka dari awal, jadi tak akan ada yang perlu disesalkan. Pada dasarnya mereka hanya mencari yang enak untuk diikuti. Mereka mengikuti gaya santai gw, padahal mereka tahu gw santai tapi gw kerja rodi. Bahkan bisa kerja sampai pagi. Itu yang gw bilang kenali potensi diri. Potensi kita untuk melakukan suatu hal lebih optimal. Kemudian kebutuhan, kalau mereka butuh hasil cepat seharusnya mereka juga bisa bekerja cepat. Jangan mengikuti kerja santai gw, lalu berharap hasil yang cepat pula. Dari situ aja mereka udah salah. Lau percaya diri, kalau mereka hanya bisa mengikuti cara kerja orang lain, berarti mereka tidak percaya pada kemampuannya sendiri. That's it.